otomotifmotorindo.org Indonesia memasuki periode yang cukup unik dalam industri otomotifnya. Di satu sisi, penjualan kendaraan bermesin bensin dan diesel mengalami penurunan. Namun di sisi lain, minat terhadap kendaraan listrik, baik BEV, PHEV, maupun HEV, justru meningkat tajam. Perubahan dinamika ini tergambar jelas dalam laporan terbaru PwC bertajuk Electric Vehicle Readiness (eReadiness) yang memotret kesiapan negara-negara di kawasan ASEAN menghadapi transisi elektrifikasi.
Laporan tersebut memberikan gambaran mengenai opini konsumen, perkembangan teknologi, kesiapan infrastruktur, hingga arah kebijakan setiap negara dalam mendorong era kendaraan listrik. Fokus utamanya bukan hanya pada perkembangan global, tetapi juga pada bagaimana ASEAN-6—Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Singapura—menjalani proses transisi menuju masa depan tanpa emisi.
Kondisi Pasar Kendaraan Konvensional Masih Menurun
Pasar otomotif berbahan bakar fosil di kawasan ASEAN-6 menunjukkan pelemahan secara agregat. Total industri volume (TIV) mengalami koreksi tipis sekitar satu setengah persen. Angka tersebut memang tidak mencerminkan penurunan besar, tetapi cukup menunjukkan bahwa permintaan terhadap kendaraan konvensional mulai stagnan.
Di Indonesia, tekanan terasa lebih nyata. Penjualan mobil baru secara nasional turun dari tahun sebelumnya. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada dealer dan pabrikan, tetapi juga merembet hingga industri komponen dan suku cadang. Banyak produsen komponen internal combustion engine (ICE) harus melakukan penyesuaian karena pesanan dari pabrikan mobil menurun.
Meski demikian, penurunan di segmen ICE bukan semata-mata karena melemahnya daya beli. Sebagian konsumen mulai mempertimbangkan kendaraan listrik sebagai alternatif baru—sebuah tren yang terlihat semakin kuat terutama di tahun ini.
Elektrifikasi Membawa Perubahan Besar di Pasar ASEAN-6
Perkembangan pasar kendaraan listrik di wilayah ASEAN sangat menarik. Vietnam dan Thailand bergerak agresif dalam mempercepat adopsi BEV, sementara Singapura memperkuat infrastruktur untuk mempercepat transisi penuh menuju kendaraan bebas emisi.
Indonesia sendiri berada pada posisi yang cukup unik. Pasarnya besar, namun kecepatan transisi masih bergantung pada insentif pemerintah dan kesiapan pengisian daya. Meski demikian, pertumbuhan penjualan kendaraan listrik tetap signifikan. Berbagai merek seperti Wuling, BYD, MG, hingga Hyundai melihat peluang besar dan memperluas portofolio mereka di pasar Indonesia.
Laporan PwC menyoroti peningkatan awareness masyarakat terhadap EV. Konsumen semakin memahami manfaat efisiensi energi, biaya operasional yang lebih rendah, serta pentingnya kontribusi terhadap lingkungan. Faktor ini membuat permintaan BEV terus meningkat meskipun ekosistemnya belum sepenuhnya matang.
Faktor Pendorong Adopsi Kendaraan Listrik di Indonesia
Beberapa hal membuat kendaraan listrik lebih menarik bagi konsumen:
1. Insentif Pemerintah
Subsidi pembelian, pembebasan pajak, hingga kemudahan proses administrasi membuat harga EV lebih terjangkau. Kebijakan ini menjadi pendorong utama minat konsumen.
2. Penurunan Harga Model Baru
Merek-merek asal China masuk dengan strategi harga agresif. Produk yang ditawarkan umumnya kaya fitur, desain modern, dan berteknologi tinggi. Segmentasi harga yang lebih terjangkau membuat pasar EV semakin terbuka untuk masyarakat luas.
3. Biaya Operasional yang Lebih Murah
Pengguna EV merasakan penghematan besar pada biaya bahan bakar dan perawatan. Tidak adanya mesin kompleks membuat biaya servis jauh lebih rendah dibandingkan mobil bensin.
4. Ekspansi Infrastruktur Pengisian Daya
Jumlah SPKLU terus bertambah, baik di area publik maupun di pusat perbelanjaan. Meski belum merata, ekosistem pengisian daya mulai terbentuk.
Tantangan yang Masih Menghambat Pertumbuhan
Walau perkembangan EV positif, sejumlah tantangan masih perlu diselesaikan. Infrastruktur pengisian daya belum merata di luar kota besar. Banyak konsumen masih khawatir dengan jarak tempuh kendaraan dan umur baterai. Selain itu, harga EV tetap dianggap mahal bagi sebagian masyarakat meskipun ada insentif.
Dari sisi industri, produsen komponen lokal terancam tidak lagi relevan jika tidak melakukan transformasi. Kendaraan listrik memiliki struktur teknis berbeda dari kendaraan konvensional, sehingga membutuhkan komponen baru yang belum banyak diproduksi di dalam negeri.
Peran Indonesia dalam Kompetisi EV Asia Tenggara
Dengan pasar otomotif terbesar di kawasan, Indonesia memiliki posisi strategis dalam kompetisi EV ASEAN. Jika pemerintah mampu mempercepat pembangunan ekosistem baterai, memperkuat industri hulu seperti nikel, serta melibatkan produsen lokal dalam rantai pasok global, Indonesia bisa menjadi pusat produksi EV terbesar di Asia Tenggara.
Beberapa megaproyek baterai telah diumumkan, dan kemitraan strategis antara perusahaan global dengan BUMN menambah optimisme terhadap masa depan industri ini. Kombinasi kebijakan yang tepat, investasi berkelanjutan, dan kesiapan pasar domestik akan menjadi kunci keberhasilan Indonesia.
Kesimpulan: Pasar Otomotif Berubah, Elektrifikasi Tak Terbendung
Melemahnya pasar kendaraan konvensional tidak dapat dipisahkan dari perubahan preferensi konsumen terhadap mobil listrik. Laporan PwC eReadiness menegaskan bahwa ASEAN, termasuk Indonesia, sedang memasuki fase percepatan elektrifikasi.
Indonesia mungkin menghadapi tekanan di segmen ICE, tetapi momentum pertumbuhan EV menunjukkan arah masa depan yang jelas. Transformasi industri otomotif nasional kini bergantung pada kemampuan pemerintah dan pelaku industri dalam memperkuat ekosistem kendaraan listrik, mulai dari baterai hingga infrastruktur pengisian daya.
Elektrifikasi bukan lagi sekadar tren. Ia telah menjadi arah utama industri otomotif yang menentukan daya saing sebuah negara di masa depan.

Cek Juga Artikel Dari Platform medianews.web.id
